Minggu, 17 Mei 2015

Islamic Group Lending Model (GLM) dan Keuangan Inklusif: Studi Dampak dan Strategi Pengembangan (1)

Oleh: Aam S. Rusydiana & Abrista Devi

Abstract

Kesenjangan akses modal masyarakat miskin terhadap perbankan di Indonesia semakin besar. Hal ini disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki collateral yang cukup sebagaimana disyaratkan oleh perbankan untuk memperoleh pinjaman. Lembaga keuangan non bank dalam hal ini lembaga keuangan mikro yang sudah banyak menjamah kelompok miskin serta usaha mikro kecil menengah juga perlu dimaksimalkan keberadaannya, termasuk juga model pinjaman berbasis kelompok (GLM).
Penelitian ini akan mencoba melihat bentuk model pinjaman berbasis kelompok (Group Lending Model) dan bagaimana dampaknya terhadap struktur sosial anggotanya. Penelitian ini juga mencoba memberikan solusi berupa analisis strategi awal pengembangan Islamic GLM agar lebih efektif dan efisien. Metode yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM) dan Interpretaive Structural Modeling.
Berdasarkan pengukuran beberapa indikator diantaranya adalah tingkat partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, repayment rate yang baik, cross reporting yang baik, serta penerapan penalty sesuai dengan aturan yang berlaku, hasilnya menunjukkan bahwa dengan adanya program GLM masyarakat merasakan perbedaan baik dari kondisi ekonomi maupun sosial dari sebelum dan setelah mengikuti program. Ini menjadi temuan penting yang berharga.
Adapun strategi pengembangan untuk program GLM ini terbagi menjadi 7 level dengan elemen-elemen terpentingnya antara lain: Perlunya kesetaraan akses dana untuk segala jenis institusi keuangan, baik perbankan maupun model pinjaman berbasis kelompok, Perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pionir pelayanan model pinjaman berbasis kelompok ini, serta Pentingnya keuangan inklusif pada seluruh sistem keuangan.

Keywords: Group Lending Model, Keuangan Inklusif, Structural Equation Model (SEM), Interpretative Structural Modeling (ISM), Islamic Empowerment

 

PENDAHULUAN
Kesenjangan akses modal masyarakat miskin terhadap perbankan di Indonesia semakin besar. Hal ini disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki collateral yang mumpuni sebagaimana disyaratkan oleh perbankan untuk memperoleh pinjaman. Berdasarkan hasil survey Bank Dunia pada tahun 2010 sebagaimana dikutip dalam jurnal Bank Indonesia (2011) bahwa hampir separuh dari 234,2 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses layanan lembaga keuangan formal. Dari jumlah tersebut, sekitar 35 juta orang hanya terlayani lembaga keuangan non-formal seperti koperasi simpan-pinjam dan sebagainya. Akan tetapi ada sekitar 40 juta orang yang sama sekali belum tersentuh layanan jasa keuangan dalam bentuk apapun.
Diperkuat menurut data Bank Dunia, Global Financial Inclusian Index tahun 2012, menyatakan bahwa akses layanan financial bagi masyarakat di Indonesia masih tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya, yakni berkisar 20%. Hal ini tidak lain juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pinjaman di lembaga keuangan bank. Pada dasarnya di Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak usaha mikro. Sebagaimana dikutip dari Antara News, Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Syarifudin Hasan menyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 52,1 juta usaha mikro yang bergerak di berbagai sektor dan sangat berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan baik ini belum ditunjang dengan akses modal yang baik  pula. Mengingat lembaga keuangan bank merupakan lembaga intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan modal dengan pihak yang membutuhkan dana. Oleh sebab itulah, keuangan inklusi diharapkan dapat menjadi salah satu mekanisme dalam mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia.
Dalam Jurnal Bank Indonesia (2011)  menyebutkan bahwa keuangan inklusif adalah suatu kegiatan yang universal dan memiliki tujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga[1] maupun non harga[2] terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Radyati (2012) menjelaskan keuangan inklusif adalah suatu keadaan dimana semua orang memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau dan cara yang menyenangkan, tidak rumit, serta menjunjung harga diri dan kehormatan.
Keuangan inklusif diwujudkan dengan memperkuat sinergi antara bank dan lembaga keuangan non bank. Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat luas cakupannya. Oleh karenanya bank dapat menjadi landasan berpijak bagi keuangan inklusif terutama dalam hal pengadaan modal. Lembaga keuangan non bank dalam hal ini lembaga keuangan mikro yang sudah banyak menjamah kelompok miskin serta usaha mikro kecil menengah juga perlu dimaksimalkan keberadaannya. Faktor terpenting adalah bagaimana mewujudkan suatu lembaga keuangan mikro baik formal maupun informal yang betul-betul dapat diakses oleh masyarakat terutama masyarakat yang memiliki kendala dalam hal pengadaan jaminan. Salah satu lembaga keuangan mikro formal yang sudah mendunia dan menjadi isu terhangat di beberapa negara adalah praktik Grameen Bank di Bangladesh. Sistem layanan keuangan ini juga sudah banyak diterapkan di beberapa negara salah satunya adalah Indonesia.
Penelitian ini akan mencoba melihat bentuk model pinjaman berbasis kelompok (Group Lending Model) dengan sampel penelitian masyarakat binaan di Tazkia Microfinance Center (TMFC) Babakan Madang, Sentul dan bagaimana dampaknya terhadap struktur sosial anggotanya. Penelitian ini juga kemudian akan mengkonfirmasi faktor-faktor yang paling dominan dalam satu kelompok variabel dengan pendekatan model persamaan struktural. Selanjutnya, penelitian ini juga mencoba memberikan solusi berupa analisis strategi awal pengembangan Islamic GLM agar lebih efektif dan efisien.

LANDASAN TEORI
Group Lending Model
Keuangan mikro pada prinsipnya terdiri dari model informal dan model formal. Model keuangan mikro formal dibangun oleh lembaga keuangan formal seperti bank komersial, bank desa (BPR/BPRS), BMT dan sebagainya. Sayangnya lembaga keuangan formal semacam ini jarang sekali dapat disentuh oleh masyarakat miskin terutama yang tidak memiliki kemampuan dalam hal penyediaan penjaminan atas pinjaman. Sedangkan model keuangan mikro informal bekerja pada situasi dimana sekelompok masyarakat yang mempunyai komitmen untuk menabung dan meminjam dalam posisi lemah dan hanya mengandalkan pada pinjaman dari lembaga donor. Pengalaman Grameen Bank adalah contoh model yang mampu mentransformasi dari model informal ke model formal dalam pemberian kredit mikro ke masyarakat miskin (Akanji, 2007).
Ada beberapa ungkapan yang dapat digunakan untuk menggambarkan program group lending model sebagaimana yang telah lebih dahulu dikembangkan oleh Grameen Bank di Bangladesh. Beberapa literatur penelitian membahasakan seperti group lending, joint liability, modal sosial, dimana memiliki makna yang sama dimana setiap individu saling berkumpul dan membentuk satu kelompok agar dapat memperoleh pinjaman. Pembiayaan berbasis kelompok ini juga telah banyak dipraktikan di negara-negara berkembang. Lukman, dkk (2008) memaparkan beberapa model pembiayaan lembaga keuangan mikro pada beberapa negara misalnya, Grameen Bank di Bangladesh dan BancoSol di Bolivia, FINCA dan ROSCA di Afrika, dimana kesemuanya menerapkan pola pinjaman berkelompok dengan mekanisme jaminan kelompok (joint liablity). Tidak kalah dengan negara-negara tersebut, Indonesia juga telah menerapkan pola pinjaman berbasis kelompok yang salah satunya adalah sebagaimana telah diterapkan oleh bank BRI. Rudjito (2003) menyatakan bahwa pada tahun 2003 BRI unit merupakan lembaga pembiayaan mikro terbesar di Indonesia. Dari berbagai lembaga keuangan mikro tersebut, maka BRI Unit memberikan kredit paling besar (Rp 10,3 triliyun), kemudian diikuti oleh BPR (Rp 5,1 triliyun), dan Pegadaian (Rp 973 milyar).
Modal sosial merupakan sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Hal ini diungkapkan oleh Vipihindrartin (2008) karena mengingat sumberdaya merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk dikonsumsi, disimpan, maupun diinvestasikan. Makna dari modal sosial ini pun cukup luas. Jika modal manusia dimaksud yakni memanfaatkan keahlian seorang individu untuk dapat menghasilkan sesuatu, lain halnya dengan modal sosial yakni memanfaatkan potensi yang terdapat dalam suatu kelompok sosial masyarakat dan melihat pada pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompok.
Kredit berbasis kelompok atau dikenal dengan group lending diberikan kepada individu-individu yang tergabung dalam sebuah kelompok sehingga dapat memiliki akses terhadap layanan keuangan dalam sebuah program. Pada umumnya program yang dilakukan ditujukan untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki agunan untuk mendapatkan kredit. Kredit berbasis kelompok ini dibuat untuk individu tetapi semua anggota kelompok bertanggungjawab untuk pembayaran untang (prinsip tanggung renteng), diberlakukan jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), pembayaran dilakukan mingguan atau bulanan.
Fungsi utama dari model group lending bagi pembiayaan mikro adalah kegunaannya untuk kebutuhan sosial lebih besar dibandingkan aspek bisnis yang lebih mengedepankan pada jaminan secara materi. Pinjaman diberikan kepada kelompok-kelompok kecil atau perusahaan (peer pressure) yang mana dapat menjamin pengembalian pinjaman dapat tercapai. Di Bangladesh, perempuan merupakan sasaran utama penerima manfaat dari program mikro kredit ini. Hal ini dikarenakan kaum wanita dirasa lebih sensitif dan lebih reliable dalam hal pinjam meminjam (Schurmann dan Johnston, 2009).

Faktor-Faktor Penentu Tingkat Efektifitas Group Lending Model  
Budaya merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung aktifitas ekonomi masyarakat terutama dalam hal membangun program model pinjaman berbasis kelompok (GLM). Lingkungan dan budaya yang baik akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang/masyarakat dalam bermuamalah (Fukuyama, 2002). Mengingat program GLM merupakan program pinjaman berbasis kelompok yang merupakan kumpulan antara setiap individu, oleh karenanya untuk membentuk kelompok peminjam yang baik perlu mengenal karakter dari setiap individu dalam kelompok. Karakter dapat terbentuk berdasarkan lingkungan tempat tinggal (wilayah) dan budayanya.
Tidak hanya sebatas pada kepribadian setiap individu dalam kelompok yang diperlukan untuk membangun program GLM yang baik, perlu juga adanya saling evaluasi antara satu individu dengan individu lainnya dalam kelompok. Rai dan Sjostrom (2004) menyatakan bahwa dalam menilai efisiensi suatu program GLM tidak hanya cukup hanya dengan saling menolong satu sama lain saja, akan tetapi juga perlu adanya cross reporting (saling mengevaluasi) antara satu individu dengan individu lainnya yang harus dilaporkan kepada bank. Setiap individu juga dapat melakukan pekerjaan bank lainnya seperti saling memonitor satu sama lain, mengobservasi sejarah pengembalian anggota yang lain, dan sebagainya. Proses inilah yang tidak dapat dilakukan oleh pengawas yang dalam hal ini adalah bank.
Penalty atau sanksi juga merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program GLM. Menurut Besley dan Coate (1995) bahwa pentingnya keberadaan suatu sanksi sosial yang mampu mencerminkan terjaminnya tingkat pengembalian yang baik dalam skema GLM. Mereka berpendapat bahwa jika sanksi sosial diterapkan dengan baik, maka pengembalian pinjaman dalam kelompok GLM pun akan baik.
Greenberg, dkk (1999) menyatakan bahwa keberhasilan suatu kelompok peminjam dapat ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini: (1) solidaritas dan loyalitas pada kelompok, (2) partisipasi anggota kelompok dalam pengambilan keputusan, (3) komitmen yang dimiliki oleh para anggota kelompok untuk menjalankan setiap keputusan, (4) timbul rasa saling percaya antar masing-masing anggota kelompok (mutual trust in group), (5) adanya I’tikad baik dari masing-masing anggota kelompok untuk melaksanakan setiap keputusan dan kebijakan yang telah diambil.
Pemerintah juga berperan penting dalam menentukan jalannya program group lending berjalan dengan baik. Ridwan (2012) menyatakan bahwa kesejateraan masyarakat secara substansial dipengaruhi oleh faktor ekstenal seperti lingkungan yang ada di sekitar masyarakat miskin dan intervensi pemerintah dan juga beberapa faktor internal yang diantaranya adalah faktor demografis seperti tingkat pendidikan, kemampuan kerja, motivasi kerja, kinerja, pengalaman kerja, dan karakteristik individual.

Penelitian Terdahulu
Aghion dan Morduch (2005) menyatakan bahwa Group Lending merupakan salah satu program pembiayaan yang sukses dalam tataran pembiayaan mikro. Di samping itu Group Lending turut mementingkan beberapa aspek dalam pembiayaan mikro diantaranya adalah pengembalian yang cukup dinamis, penerapan pengembalian secara berkala, dan pengembalian publik. Pada beberapa skema pembiayaan mikro, pengembalian pinjaman dibuat secara berkala baik dalam mingguan, duamingguan atau bahkan bulanan. Dalam hal ini antara peminjam dalam kelompok dan supervisor juga melakukan pertemuan secara berkala, loan officers dapat memperoleh informasi dari peminjam dan dapat juga saling berbagi informasi terkait masalah yang dihadapi oleh para peminjam dari usaha-usaha yang dijalankan hingga dapat ditemukan solusinya bersama. 
Kono (2007), melakukan penelitian lapangan dengan studi kasus di Vietnam untuk menggambarkan aturan permainan dari sebuah group lending model. Dalam penelitian lapangan ini, Kono melakukan beberapa percobaan terkait tentang monitoring, cross reporting, penerapan sanksi sosial atas moral hazard, komunikasi antar individu, dan pembentukan grup berdasarkan perilaku pengembalian pinjaman oleh peminjam. Hasil dari studi kasus lapangan ini menunjukkan bahwa kontrak group lending yang dibuat menyebabkan masalah yang cukup serius diantaranya adalah kegagalan strategis dan tingkat pengembalian yang rendah.
            Lain halnya dengan Viphindrartin (2012) yang mencoba memetakan penelitiannya menjadi tiga basis budaya masyarakat yang berbeda yakni Matraman, Arek, dan Madura untuk melihat hubungan dan pengaruh terhadap efektifitas suatu program modal sosial/group lending. Relasi sosial yang tercermin dari setiap masing-masing kelompok budaya tersebut menjadi dasar pembentukan kelompok modal sosial. Dengan adanya interaksi di dalam kelompok diharapkan dapat menstimulus peningkatan repayment rate dan efektifitas program. Hasil penelitan menunjukkan bahwa karakteristik budaya dan modal sosial pada masyarakat tertentu berpengaruh positif terhadap perilaku masyarakat penerima manfaat dalam melakukan pengembalian pinjaman dan juga mencerminkan efektif tidaknya sebuah program penanggulangan kemiskinan bagi masyarakat.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan dua macam teknik analisis, yaitu:
1.      Confirmatory Factor Analysis (CFA), pada SEM digunakan untuk mengkonfirmasikan faktor-faktor yang paling dominan dalam satu kelompok variabel dan Regression weight, pada SEM yang digunakan untuk meneliti seberapa besar hubungan kausalitas antar variabel
2.      Interpretative Structural Modeling (ISM), digunakan untuk menganalisis strategi awal pengembangan Islamic GLM agar lebih efektif dan efisien. Namun dalam paper ini hasil ISM yang dapat ditampilkan hanya hasil pendahuluan dan tidak sampai kepada pemodelan pada software.

Untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama, dimana penelitian ini ingin mengungkapkan bagaimana kedudukan-kedudukan variabel yang akan diteliti serta hubungan antar satu variabel dengan variabel yang lain atau dengan kata lain untuk melihat hubungan variabel eksogen (karakteristik budaya) terhadap variabel dependen (organisasi pemerintah/efektifitas program GLM). Penelitian kausalitas ini dirancang dengan pendekatan kuantitatif untuk dilaksanakan dengan menggunakan metode survey terhadap ahli (expert) dalam proses pengumpulan datanya serta menggunakan analisis metodologi SEM (Structural Equation Model) untuk melihat hubungan pengaruh antar variabel.
Definisi operasional merupakan penjabaran akan definisi variabel dan indikator pada penelitian ini. selanjutnya definisi operasional menggambarkan pula pengukuran atas variabel dan indikator yang dikembangkan pada penelitian ini.

Tabel 1:
Definisi Operasional Variabel dan Indikator

Variabel
Definisi Operasional Variabel
Indikator Variabel
Definisi Operasional Indikator Variabel
Karakteristik Budaya
Budaya merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung aktifitas ekonomi masyarakat terutama dalam hal membangun program model pinjaman berbasis kelompok (GLM). Lingkungan dan budaya yang baik akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang/masyarakat dalam bermuamalah (Fukuyama, 2002). Mengingat program GLM merupakan program pinjaman berbasis kelompok yang merupakan kumpulan antara setiap individu, oleh karenanya untuk membentuk kelompok peminjam yang baik perlu mengenal karakter dari setiap individu dalam kelompok. Karakter dapat terbentuk berdasarkan lingkungan tempat tinggal (wilayah) dan budayanya.
X1 (Potensi Kelompok)
Kelima indikator ini diukur dengan melihat pada keahlian yang dimiliki oleh individu dalam setiap kelompok, hubungan saling percaya, kerjasama, disiplin, tanggung renteng, kondisi lingkungan tempat tinggal, peran adat dan tokoh masyarakat, kesamaan wilayah, profesi, dan sebagainya.
X2 (Pola Hubungan antar Individu)
X3 (Kerjasama)
X4 (Nilai/Norma adat dan agama)
X5 (Hubungan)
Organisasi/Peran Pemerintah
pemerintah atau organisasi yang menaungi program GLM turut mendukung terlaksananya program GLM dengan baik.
Y1 (Kebijakan Pemerintah)
Kelima indikator ini diukur dengan melihat pada bagaimana regulasi terkait GLM apkah sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta bagaimana peran pemerintah khususnya dalam hal pengawasan dan pendampingan 
Y2 (Penyedia Fasilias dan Monitoring)
Y3 (Pendampingan dan Pembinaan)
Y4 (Bantuan Modal)
Y5 (Sosialisasi Program)
Efektifitas Program GLM
Dicerminkan melalui kondisi dan perilaku masyarakat kelompok penerima dana bergulir dengan program GLM
Z1 (Partisipasi Masyarakat)
Dengan melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam program GLM, serta bagaimana perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat penerima program GLM sebelum mengikuti program dan setelah mengikuti program. Tingkat pengembalian juga menjadi salah satu tolak ukur untuk menilai keberhasilan program GLM.
Z2 (Pemberdayaan Masyarakat)
Z3 (Repayment rate yang baik)
Z4 (Cross Reporting yang baik)
Z5 (Penalty)

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural atau Structural Equation Modelling (SEM). Penggunaan analisis SEM dalam menganalisis model penelitian diharapkan dapat mengidentifikasikan dimensi-dimensi sebuah construct dan pada saat yang sama akan mengukur pengaruh atau derajat hubungan antara faktor yang telah diidentifikasikan dimensi-dimensinya (Ferdinand, 2006). Keunggulan penggunaan SEM lainnya adalah kemampuannya untuk mengkonfirmasikan dimensi-dimensi dari sebuah konsep atau faktor serta kemampuannya untuk mengukur pengaruh hubungan-hubungan secara teoritis.

Dalam membuat permodelan SEM perlu dilakukan langkah-langkah berikut ini:
1.      Pengembangan model teoritis
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengembangkan model SEM adalah mengembangkan sebuah model penelitian dengan dukungan teori yang kuat melalui berbagai telaah pustaka dari sumber-sumber ilmiah yang berhubungan dengan model yang dikembangkan.
2.      Pengembangan diagram alur (path diagram) untuk menunjukkan hubungan kausalitas (sebab akibat). Model penelitian yang telah dibangun pada tahap pertama akan digambarkan pada sebuah path diagram yang akan mempermudah untuk melihat hubungan-hubungan kausalitas yang akan diuji. Konstruk-konstruk dalam path diagram dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
·         Konstruk Eksogen (exogenous construct), dikenal dengan source variable atau independent variable yang tidak diprediksi oleh variabel-variabel yang lain yang terdapat dalam model.
·         Konstruk Endogen (endogenous construct) yang merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk. Konstruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa kosntruk endogen lainnya, tetapi konstruk endogen hanya dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen.

Sehingga, path diagram yang dikembangkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1
Model pengukuran lengkap (path diagram)

3.      Konversi diagram alur ke dalam serangkaian persamaan strukturan dan spesifikasi model pengukuran.
4.      Pemilihan matrik input dan teknik estimasi
SEM menggunakan input data yang hanya menggunakan matriks/kovarian atau matrik korelasi untuk keseluruhan estimasi yang dilakukan. Matrik kovarian digunakan karena memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda dan tidak dapat disajikan oleh korelasi. (Hair et al., dalam Ferdinand, 2006)  menganjurkan bahwa jumlah sampel yang sesuai adalah berkisar antara 100 sampai dengan 200 responden, sedangkan ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 responden per estimasi parameter.
5.      Menilai problem identifikasi
Problem identifikasi pada dasarnya merupakan problem mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unit. Salah satu solusi untuk problem identifikasi ini adalah dengan memberikan lebih banyak konstrain pada model yang dianalisis dan ini berarti mengeliminasi jumlah estimated coefficient. Oleh karena itu sangat disarankan bila setiap kali estimasi dilakukan muncul problem identifikasi, maka sebaiknya model dipertimbangkan ulang antara lain dengan mengembangkan lebih banyak model konstruk.
6.      Evaluasi kriteria goodness of fit
Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap berbagai kriteria goodness of fit, setelah dipastikan bahwa data yang digunakan sudah memenuhi asumsi-asumsi SEM.

Adapun langkah yang kedua adalah penggunaan ISM. ISM merupakan metode dalam pengambilan keputusan dari situasi yang kompleks dengan menghubungkan dan mengorganisasi ide dalam peta map visual. Ide dasarnya adalah menggunakan ahli yang berpengalaman dan pengetahuan praktis untuk menguraikan sistem yang rumit menjadi beberapa sub-sistem (elemen) dan membangun sebuah model struktural bertingkat. ISM sering digunakan untuk memberikan pemahaman dasar situasi yang kompleks, serta menyusun tindakan untuk memecahkan masalah (Gorvett and Liu, 2007).
Dalam pelaksanaan metode ISM terlebih dahulu dilakukan diskusi dengan para pakar (brainstorming) untuk menjaring ide-ide pengembangan organisasi yang terdiri dari orang-orang yang memahami konsep ISM, mengerti masalah pengembangan model GLM, memiliki keahlian di bidang microfinance dan empowerment. Dari diskusi mengenai strategi pengembangan tersebut diperoleh beberapa ide atau variabel yang akan diolah menggunakan ISM.
Langkah pertama dalam pengolahan ISM adalah membuat Structural Self Interaction Matrix (SSIM), di mana variabelvariabel tersebut dibuat hubungan konstektualnya dengan menjadikan satu variabel i dan variabel j. Selanjutnya adalah membuat reachibility matrix (RM) dengan mengubah V, A, X dan O dengan bilangan 1 dan 0. Langkah terakhir adalah membuat Canonical Matrix untuk menentukan level melalui iterasi. Setelah tidak ada lagi irisan (intersection), selanjutnya dibuat model yang dihasilkan oleh ISM yang merupakan suatu model untuk memecahkan masalah, dalam hal ini pengembangan model GLM. Dari model tersebut kemudian nantinya akan dibuat suatu road map pengembangan lembaga (level).



[1] Hambatan harga yang dimaksud adalah prasyarat seperti keharusan bagi calon debitur untuk menyetorkan sejumlah dana kepada pihak bank pada saat pembukaan rekening di bank sebagai prasyarat untuk memperoleh pinjaman. Fakta yang terjadi dilapangan adalah tidak semua pihak lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk memenuhi syarat tersebut karena sebagian dari mereka bisa jadi memang tidak memiliki ketersediaan dana (Bank Indonesia, 2011).
[2] Hambatan non harga yang dimaksud adalah dapat berupa persyaratan administratif yang dapat memberatkan konsumen, seperti misalnya keharusan bagi calon debitur untuk menyiapkan sejumlah jaminan dan sebagainya (Bank Indonesia, 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar