Oleh: Aam S. Rusydiana & Abrista Devi
Abstract
Kesenjangan
akses modal masyarakat miskin terhadap perbankan di Indonesia semakin besar.
Hal ini disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki collateral yang cukup
sebagaimana disyaratkan oleh perbankan untuk memperoleh pinjaman. Lembaga
keuangan non bank dalam hal ini lembaga keuangan mikro yang sudah banyak
menjamah kelompok miskin serta usaha mikro kecil menengah juga perlu
dimaksimalkan keberadaannya, termasuk juga model pinjaman berbasis kelompok
(GLM).
Penelitian ini
akan mencoba melihat bentuk model pinjaman berbasis kelompok (Group Lending
Model) dan bagaimana dampaknya terhadap struktur sosial anggotanya. Penelitian
ini juga mencoba memberikan solusi berupa analisis strategi awal pengembangan Islamic GLM agar lebih efektif dan
efisien. Metode yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM) dan
Interpretaive Structural Modeling.
Berdasarkan
pengukuran beberapa indikator diantaranya adalah tingkat partisipasi
masyarakat, pemberdayaan masyarakat, repayment rate yang baik, cross
reporting yang baik, serta penerapan penalty sesuai dengan aturan
yang berlaku, hasilnya menunjukkan bahwa dengan adanya program GLM masyarakat
merasakan perbedaan baik dari kondisi ekonomi maupun sosial dari sebelum dan
setelah mengikuti program. Ini menjadi temuan penting yang berharga.
Adapun strategi
pengembangan untuk program GLM ini terbagi menjadi 7 level dengan elemen-elemen
terpentingnya antara lain: Perlunya
kesetaraan akses dana untuk segala jenis institusi keuangan, baik perbankan
maupun model pinjaman berbasis kelompok, Perlunya peningkatan kualitas sumber daya
manusia sebagai pionir pelayanan model pinjaman berbasis kelompok ini, serta Pentingnya
keuangan inklusif pada seluruh sistem keuangan.
Keywords: Group
Lending Model, Keuangan Inklusif, Structural Equation Model (SEM),
Interpretative Structural Modeling (ISM), Islamic Empowerment
PENDAHULUAN
Kesenjangan
akses modal masyarakat miskin terhadap perbankan di Indonesia semakin besar.
Hal ini disebabkan oleh masyarakat miskin tidak memiliki collateral yang
mumpuni sebagaimana disyaratkan oleh perbankan untuk memperoleh pinjaman. Berdasarkan
hasil survey Bank Dunia pada tahun 2010 sebagaimana dikutip dalam jurnal Bank
Indonesia (2011) bahwa hampir separuh dari 234,2 juta penduduk Indonesia tidak
memiliki akses layanan lembaga keuangan formal. Dari jumlah tersebut, sekitar
35 juta orang hanya terlayani lembaga keuangan non-formal seperti koperasi
simpan-pinjam dan sebagainya. Akan tetapi ada sekitar 40 juta orang yang sama
sekali belum tersentuh layanan jasa keuangan dalam bentuk apapun.
Diperkuat
menurut data Bank Dunia, Global Financial Inclusian Index tahun 2012,
menyatakan bahwa akses layanan financial bagi masyarakat di Indonesia
masih tergolong sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya,
yakni berkisar 20%. Hal ini tidak lain juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan
masyarakat dalam memperoleh pinjaman di lembaga keuangan bank. Pada dasarnya di
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak usaha mikro. Sebagaimana
dikutip dari Antara News, Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah,
Syarifudin Hasan menyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 52,1 juta usaha
mikro yang bergerak di berbagai sektor dan sangat berpotensi dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sayangnya pertumbuhan baik ini belum ditunjang dengan
akses modal yang baik pula. Mengingat
lembaga keuangan bank merupakan lembaga intermediasi antara pihak yang memiliki
kelebihan modal dengan pihak yang membutuhkan dana. Oleh sebab itulah, keuangan
inklusi diharapkan dapat menjadi salah satu mekanisme dalam mengurangi
kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di
Indonesia.
Dalam
Jurnal Bank Indonesia (2011) menyebutkan
bahwa keuangan inklusif adalah suatu kegiatan yang universal dan memiliki
tujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga[1]
maupun non harga[2] terhadap
akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Radyati (2012)
menjelaskan keuangan inklusif adalah suatu keadaan dimana semua orang memiliki
akses terhadap layanan jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya yang
terjangkau dan cara yang menyenangkan, tidak rumit, serta menjunjung harga diri
dan kehormatan.
Keuangan
inklusif diwujudkan dengan memperkuat sinergi antara bank dan lembaga keuangan
non bank. Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat luas cakupannya. Oleh
karenanya bank dapat menjadi landasan berpijak bagi keuangan inklusif terutama
dalam hal pengadaan modal. Lembaga keuangan non bank dalam hal ini lembaga
keuangan mikro yang sudah banyak menjamah kelompok miskin serta usaha mikro
kecil menengah juga perlu dimaksimalkan keberadaannya. Faktor terpenting adalah
bagaimana mewujudkan suatu lembaga keuangan mikro baik formal maupun informal yang
betul-betul dapat diakses oleh masyarakat terutama masyarakat yang memiliki
kendala dalam hal pengadaan jaminan. Salah satu lembaga keuangan mikro formal
yang sudah mendunia dan menjadi isu terhangat di beberapa negara adalah praktik
Grameen Bank di Bangladesh. Sistem layanan keuangan ini juga sudah banyak
diterapkan di beberapa negara salah satunya adalah Indonesia.
Penelitian ini
akan mencoba melihat bentuk model pinjaman berbasis kelompok (Group Lending
Model) dengan sampel penelitian masyarakat binaan di Tazkia Microfinance Center
(TMFC) Babakan Madang, Sentul dan bagaimana dampaknya terhadap struktur sosial
anggotanya. Penelitian ini juga kemudian akan mengkonfirmasi faktor-faktor yang
paling dominan dalam satu kelompok variabel dengan pendekatan model persamaan
struktural. Selanjutnya, penelitian ini juga mencoba memberikan solusi berupa analisis
strategi awal pengembangan Islamic GLM
agar lebih efektif dan efisien.
LANDASAN
TEORI
Group
Lending Model
Keuangan mikro
pada prinsipnya terdiri dari model informal dan model formal. Model keuangan
mikro formal dibangun oleh lembaga keuangan formal seperti bank komersial, bank
desa (BPR/BPRS), BMT dan sebagainya. Sayangnya lembaga keuangan formal semacam
ini jarang sekali dapat disentuh oleh masyarakat miskin terutama yang tidak
memiliki kemampuan dalam hal penyediaan penjaminan atas pinjaman. Sedangkan
model keuangan mikro informal bekerja pada situasi dimana sekelompok masyarakat
yang mempunyai komitmen untuk menabung dan meminjam dalam posisi lemah dan
hanya mengandalkan pada pinjaman dari lembaga donor. Pengalaman Grameen Bank
adalah contoh model yang mampu mentransformasi dari model informal ke model
formal dalam pemberian kredit mikro ke masyarakat miskin (Akanji, 2007).
Ada
beberapa ungkapan yang dapat digunakan untuk menggambarkan program group
lending model sebagaimana yang telah lebih dahulu dikembangkan oleh Grameen
Bank di Bangladesh. Beberapa literatur penelitian membahasakan seperti group
lending, joint liability, modal sosial, dimana memiliki makna yang sama
dimana setiap individu saling berkumpul dan membentuk satu kelompok agar dapat
memperoleh pinjaman. Pembiayaan berbasis kelompok ini juga telah banyak
dipraktikan di negara-negara berkembang. Lukman, dkk (2008) memaparkan beberapa
model pembiayaan lembaga keuangan mikro pada beberapa negara misalnya, Grameen
Bank di Bangladesh dan BancoSol di Bolivia, FINCA dan ROSCA di Afrika, dimana
kesemuanya menerapkan pola pinjaman berkelompok dengan mekanisme jaminan
kelompok (joint liablity). Tidak kalah dengan negara-negara tersebut,
Indonesia juga telah menerapkan pola pinjaman berbasis kelompok yang salah
satunya adalah sebagaimana telah diterapkan oleh bank BRI. Rudjito (2003)
menyatakan bahwa pada tahun 2003 BRI unit merupakan lembaga pembiayaan mikro
terbesar di Indonesia. Dari berbagai lembaga keuangan mikro tersebut, maka BRI
Unit memberikan kredit paling besar (Rp 10,3 triliyun), kemudian diikuti oleh
BPR (Rp 5,1 triliyun), dan Pegadaian (Rp 973 milyar).
Modal
sosial merupakan sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk
mendapatkan sumberdaya baru. Hal ini diungkapkan oleh Vipihindrartin (2008)
karena mengingat sumberdaya merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk
dikonsumsi, disimpan, maupun diinvestasikan. Makna dari modal sosial ini pun
cukup luas. Jika modal manusia dimaksud yakni memanfaatkan keahlian seorang
individu untuk dapat menghasilkan sesuatu, lain halnya dengan modal sosial
yakni memanfaatkan potensi yang terdapat dalam suatu kelompok sosial masyarakat
dan melihat pada pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan
antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan
kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompok.
Kredit
berbasis kelompok atau dikenal dengan group lending diberikan kepada
individu-individu yang tergabung dalam sebuah kelompok sehingga dapat memiliki
akses terhadap layanan keuangan dalam sebuah program. Pada umumnya program yang
dilakukan ditujukan untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki agunan untuk
mendapatkan kredit. Kredit berbasis kelompok ini dibuat untuk individu tetapi
semua anggota kelompok bertanggungjawab untuk pembayaran untang (prinsip
tanggung renteng), diberlakukan jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun),
pembayaran dilakukan mingguan atau bulanan.
Fungsi
utama dari model group lending bagi pembiayaan mikro adalah kegunaannya
untuk kebutuhan sosial lebih besar dibandingkan aspek bisnis yang lebih
mengedepankan pada jaminan secara materi. Pinjaman diberikan kepada
kelompok-kelompok kecil atau perusahaan (peer pressure) yang mana dapat
menjamin pengembalian pinjaman dapat tercapai. Di Bangladesh, perempuan
merupakan sasaran utama penerima manfaat dari program mikro kredit ini. Hal ini
dikarenakan kaum wanita dirasa lebih sensitif dan lebih reliable dalam hal
pinjam meminjam (Schurmann dan Johnston, 2009).
Faktor-Faktor
Penentu Tingkat Efektifitas Group Lending Model
Budaya
merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung aktifitas ekonomi masyarakat
terutama dalam hal membangun program model pinjaman berbasis kelompok (GLM).
Lingkungan dan budaya yang baik akan berpengaruh terhadap perilaku
seseorang/masyarakat dalam bermuamalah (Fukuyama, 2002). Mengingat program GLM
merupakan program pinjaman berbasis kelompok yang merupakan kumpulan antara
setiap individu, oleh karenanya untuk membentuk kelompok peminjam yang baik
perlu mengenal karakter dari setiap individu dalam kelompok. Karakter dapat
terbentuk berdasarkan lingkungan tempat tinggal (wilayah) dan budayanya.
Tidak
hanya sebatas pada kepribadian setiap individu dalam kelompok yang diperlukan
untuk membangun program GLM yang baik, perlu juga adanya saling evaluasi antara
satu individu dengan individu lainnya dalam kelompok. Rai dan Sjostrom (2004)
menyatakan bahwa dalam menilai efisiensi suatu program GLM tidak hanya cukup
hanya dengan saling menolong satu sama lain saja, akan tetapi juga perlu adanya
cross reporting (saling mengevaluasi) antara satu individu dengan
individu lainnya yang harus dilaporkan kepada bank. Setiap individu juga dapat
melakukan pekerjaan bank lainnya seperti saling memonitor satu sama lain,
mengobservasi sejarah pengembalian anggota yang lain, dan sebagainya. Proses
inilah yang tidak dapat dilakukan oleh pengawas yang dalam hal ini adalah bank.
Penalty
atau sanksi juga merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program GLM.
Menurut Besley dan Coate (1995) bahwa pentingnya keberadaan suatu sanksi sosial
yang mampu mencerminkan terjaminnya tingkat pengembalian yang baik dalam skema
GLM. Mereka berpendapat bahwa jika sanksi sosial diterapkan dengan baik, maka
pengembalian pinjaman dalam kelompok GLM pun akan baik.
Greenberg,
dkk (1999) menyatakan bahwa keberhasilan suatu kelompok peminjam dapat
ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini: (1) solidaritas dan loyalitas pada
kelompok, (2) partisipasi anggota kelompok dalam pengambilan keputusan, (3)
komitmen yang dimiliki oleh para anggota kelompok untuk menjalankan setiap
keputusan, (4) timbul rasa saling percaya antar masing-masing anggota kelompok
(mutual trust in group), (5) adanya I’tikad baik dari masing-masing
anggota kelompok untuk melaksanakan setiap keputusan dan kebijakan yang telah
diambil.
Pemerintah
juga berperan penting dalam menentukan jalannya program group lending
berjalan dengan baik. Ridwan (2012) menyatakan bahwa kesejateraan masyarakat
secara substansial dipengaruhi oleh faktor ekstenal seperti lingkungan yang ada
di sekitar masyarakat miskin dan intervensi pemerintah dan juga beberapa faktor
internal yang diantaranya adalah faktor demografis seperti tingkat pendidikan,
kemampuan kerja, motivasi kerja, kinerja, pengalaman kerja, dan karakteristik
individual.
Penelitian
Terdahulu
Aghion
dan Morduch (2005) menyatakan bahwa Group Lending merupakan salah satu
program pembiayaan yang sukses dalam tataran pembiayaan mikro. Di samping itu Group
Lending turut mementingkan beberapa aspek dalam pembiayaan mikro
diantaranya adalah pengembalian yang cukup dinamis, penerapan pengembalian
secara berkala, dan pengembalian publik. Pada beberapa skema pembiayaan mikro,
pengembalian pinjaman dibuat secara berkala baik dalam mingguan, duamingguan
atau bahkan bulanan. Dalam hal ini antara peminjam dalam kelompok dan supervisor
juga melakukan pertemuan secara berkala, loan officers dapat memperoleh
informasi dari peminjam dan dapat juga saling berbagi informasi terkait masalah
yang dihadapi oleh para peminjam dari usaha-usaha yang dijalankan hingga dapat
ditemukan solusinya bersama.
Kono
(2007), melakukan penelitian lapangan dengan studi kasus di Vietnam untuk
menggambarkan aturan permainan dari sebuah group lending model. Dalam
penelitian lapangan ini, Kono melakukan beberapa percobaan terkait tentang
monitoring, cross reporting, penerapan sanksi sosial atas moral hazard,
komunikasi antar individu, dan pembentukan grup berdasarkan perilaku
pengembalian pinjaman oleh peminjam. Hasil dari studi kasus lapangan ini
menunjukkan bahwa kontrak group lending yang dibuat menyebabkan masalah
yang cukup serius diantaranya adalah kegagalan strategis dan tingkat
pengembalian yang rendah.
Lain halnya
dengan Viphindrartin (2012) yang mencoba memetakan penelitiannya menjadi tiga
basis budaya masyarakat yang berbeda yakni Matraman, Arek, dan Madura untuk
melihat hubungan dan pengaruh terhadap efektifitas suatu program modal sosial/group
lending. Relasi sosial yang tercermin dari setiap masing-masing kelompok
budaya tersebut menjadi dasar pembentukan kelompok modal sosial. Dengan adanya
interaksi di dalam kelompok diharapkan dapat menstimulus peningkatan repayment
rate dan efektifitas program. Hasil penelitan menunjukkan bahwa karakteristik
budaya dan modal sosial pada masyarakat tertentu berpengaruh positif terhadap
perilaku masyarakat penerima manfaat dalam melakukan pengembalian pinjaman dan
juga mencerminkan efektif tidaknya sebuah program penanggulangan kemiskinan
bagi masyarakat.
METODOLOGI
Penelitian
ini menggunakan dua macam teknik analisis, yaitu:
1.
Confirmatory Factor Analysis (CFA), pada SEM digunakan
untuk mengkonfirmasikan faktor-faktor yang paling dominan dalam satu kelompok
variabel dan Regression weight, pada SEM yang digunakan untuk meneliti
seberapa besar hubungan kausalitas antar variabel
2.
Interpretative
Structural Modeling (ISM), digunakan untuk menganalisis strategi awal
pengembangan Islamic GLM agar lebih
efektif dan efisien. Namun dalam paper ini hasil ISM yang dapat ditampilkan
hanya hasil pendahuluan dan tidak sampai kepada pemodelan pada software.
Untuk menjawab tujuan penelitian yang
pertama, dimana penelitian ini ingin mengungkapkan bagaimana
kedudukan-kedudukan variabel yang akan diteliti serta hubungan antar satu
variabel dengan variabel yang lain atau dengan kata lain untuk melihat hubungan
variabel eksogen (karakteristik budaya) terhadap variabel dependen (organisasi
pemerintah/efektifitas program GLM). Penelitian kausalitas ini dirancang
dengan pendekatan kuantitatif untuk dilaksanakan dengan menggunakan metode
survey terhadap ahli (expert) dalam proses pengumpulan datanya serta
menggunakan analisis metodologi SEM (Structural Equation Model) untuk
melihat hubungan pengaruh antar variabel.
Definisi operasional
merupakan penjabaran akan definisi variabel dan indikator pada penelitian ini.
selanjutnya definisi operasional menggambarkan pula pengukuran atas variabel
dan indikator yang dikembangkan pada penelitian ini.
Tabel 1:
Definisi Operasional Variabel dan Indikator
Variabel
|
Definisi Operasional Variabel
|
Indikator Variabel
|
Definisi Operasional Indikator
Variabel
|
Karakteristik Budaya
|
Budaya merupakan salah satu
faktor yang dapat mendukung aktifitas ekonomi masyarakat terutama dalam hal
membangun program model pinjaman berbasis kelompok (GLM). Lingkungan dan
budaya yang baik akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang/masyarakat
dalam bermuamalah (Fukuyama, 2002). Mengingat program GLM merupakan program
pinjaman berbasis kelompok yang merupakan kumpulan antara setiap individu,
oleh karenanya untuk membentuk kelompok peminjam yang baik perlu mengenal
karakter dari setiap individu dalam kelompok. Karakter dapat terbentuk
berdasarkan lingkungan tempat tinggal (wilayah) dan budayanya.
|
X1
(Potensi Kelompok)
|
Kelima
indikator ini diukur dengan melihat pada keahlian yang dimiliki oleh individu
dalam setiap kelompok, hubungan saling percaya, kerjasama, disiplin, tanggung
renteng, kondisi lingkungan tempat tinggal, peran adat dan tokoh masyarakat,
kesamaan wilayah, profesi, dan sebagainya.
|
X2
(Pola Hubungan antar Individu)
|
|||
X3
(Kerjasama)
|
|||
X4
(Nilai/Norma adat dan agama)
|
|||
X5
(Hubungan)
|
|||
Organisasi/Peran Pemerintah
|
pemerintah atau organisasi yang
menaungi program GLM turut mendukung terlaksananya program GLM dengan baik.
|
Y1
(Kebijakan Pemerintah)
|
Kelima
indikator ini diukur dengan melihat pada bagaimana regulasi terkait GLM apkah
sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta bagaimana peran pemerintah
khususnya dalam hal pengawasan dan pendampingan
|
Y2
(Penyedia Fasilias dan Monitoring)
|
|||
Y3
(Pendampingan dan Pembinaan)
|
|||
Y4
(Bantuan Modal)
|
|||
Y5
(Sosialisasi Program)
|
|||
Efektifitas Program GLM
|
Dicerminkan melalui kondisi dan
perilaku masyarakat kelompok penerima dana bergulir dengan program GLM
|
Z1
(Partisipasi Masyarakat)
|
Dengan
melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam program GLM, serta bagaimana
perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat penerima program GLM sebelum
mengikuti program dan setelah mengikuti program. Tingkat pengembalian juga
menjadi salah satu tolak ukur untuk menilai keberhasilan program GLM.
|
Z2
(Pemberdayaan Masyarakat)
|
|||
Z3
(Repayment rate yang baik)
|
|||
Z4
(Cross Reporting yang baik)
|
|||
Z5
(Penalty)
|
Metode analisis data
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan struktural atau Structural
Equation Modelling (SEM). Penggunaan analisis SEM dalam menganalisis model
penelitian diharapkan dapat mengidentifikasikan dimensi-dimensi sebuah
construct dan pada saat yang sama akan mengukur pengaruh atau derajat hubungan
antara faktor yang telah diidentifikasikan dimensi-dimensinya (Ferdinand, 2006).
Keunggulan penggunaan SEM lainnya adalah kemampuannya untuk mengkonfirmasikan
dimensi-dimensi dari sebuah konsep atau faktor serta kemampuannya untuk
mengukur pengaruh hubungan-hubungan secara teoritis.
Dalam
membuat permodelan SEM perlu dilakukan langkah-langkah berikut ini:
1.
Pengembangan model teoritis
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengembangkan
model SEM adalah mengembangkan sebuah model penelitian dengan dukungan teori
yang kuat melalui berbagai telaah pustaka dari sumber-sumber ilmiah yang
berhubungan dengan model yang dikembangkan.
2.
Pengembangan diagram alur (path diagram) untuk
menunjukkan hubungan kausalitas (sebab akibat). Model penelitian yang telah
dibangun pada tahap pertama akan digambarkan pada sebuah path diagram
yang akan mempermudah untuk melihat hubungan-hubungan kausalitas yang akan
diuji. Konstruk-konstruk dalam path diagram dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
·
Konstruk Eksogen (exogenous construct),
dikenal dengan source variable atau independent variable yang
tidak diprediksi oleh variabel-variabel yang lain yang terdapat dalam model.
·
Konstruk Endogen (endogenous construct)
yang merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk.
Konstruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa kosntruk endogen lainnya,
tetapi konstruk endogen hanya dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen.
Sehingga, path diagram
yang dikembangkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1
Model pengukuran lengkap (path diagram)
3.
Konversi diagram alur ke dalam serangkaian persamaan
strukturan dan spesifikasi model pengukuran.
4.
Pemilihan matrik input dan teknik estimasi
SEM menggunakan input data yang hanya menggunakan
matriks/kovarian atau matrik korelasi untuk keseluruhan estimasi yang
dilakukan. Matrik kovarian digunakan karena memiliki keunggulan dalam
menyajikan perbandingan yang valid antara populasi yang berbeda atau sampel
yang berbeda dan tidak dapat disajikan oleh korelasi. (Hair et al., dalam
Ferdinand, 2006) menganjurkan bahwa
jumlah sampel yang sesuai adalah berkisar antara 100 sampai dengan 200
responden, sedangkan ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 responden per estimasi
parameter.
5.
Menilai problem identifikasi
Problem identifikasi pada dasarnya merupakan problem
mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan
estimasi yang unit. Salah satu solusi untuk problem identifikasi ini adalah
dengan memberikan lebih banyak konstrain pada model yang dianalisis dan ini
berarti mengeliminasi jumlah estimated coefficient. Oleh karena itu
sangat disarankan bila setiap kali estimasi dilakukan muncul problem
identifikasi, maka sebaiknya model dipertimbangkan ulang antara lain dengan
mengembangkan lebih banyak model konstruk.
6.
Evaluasi kriteria goodness of fit
Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap berbagai
kriteria goodness of fit, setelah dipastikan bahwa data yang digunakan
sudah memenuhi asumsi-asumsi SEM.
Adapun
langkah yang kedua adalah penggunaan ISM. ISM merupakan metode dalam
pengambilan keputusan dari situasi yang kompleks dengan menghubungkan dan
mengorganisasi ide dalam peta map visual. Ide dasarnya adalah menggunakan ahli
yang berpengalaman dan pengetahuan praktis untuk menguraikan sistem yang rumit
menjadi beberapa sub-sistem (elemen) dan membangun sebuah model struktural
bertingkat. ISM sering digunakan untuk memberikan pemahaman dasar situasi yang
kompleks, serta menyusun tindakan untuk memecahkan masalah (Gorvett and Liu,
2007).
Dalam
pelaksanaan metode ISM terlebih dahulu dilakukan diskusi dengan para pakar (brainstorming)
untuk menjaring ide-ide pengembangan organisasi yang terdiri dari orang-orang
yang memahami konsep ISM, mengerti masalah pengembangan model GLM, memiliki keahlian
di bidang microfinance dan empowerment. Dari diskusi mengenai strategi
pengembangan tersebut diperoleh beberapa ide atau variabel yang akan diolah
menggunakan ISM.
Langkah
pertama dalam pengolahan ISM adalah membuat Structural Self
Interaction Matrix (SSIM), di mana variabelvariabel tersebut dibuat
hubungan konstektualnya dengan menjadikan satu variabel i dan variabel j.
Selanjutnya adalah membuat reachibility matrix (RM) dengan mengubah V,
A, X dan O dengan bilangan 1 dan 0. Langkah terakhir adalah membuat Canonical
Matrix untuk menentukan level melalui iterasi. Setelah tidak ada lagi
irisan (intersection), selanjutnya dibuat model yang dihasilkan oleh ISM
yang merupakan suatu model untuk memecahkan masalah, dalam hal ini pengembangan
model GLM. Dari model tersebut kemudian nantinya akan dibuat suatu road map pengembangan
lembaga (level).
[1] Hambatan harga
yang dimaksud adalah prasyarat seperti keharusan bagi calon debitur untuk
menyetorkan sejumlah dana kepada pihak bank pada saat pembukaan rekening di
bank sebagai prasyarat untuk memperoleh pinjaman. Fakta yang terjadi dilapangan
adalah tidak semua pihak lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk memenuhi
syarat tersebut karena sebagian dari mereka bisa jadi memang tidak memiliki
ketersediaan dana (Bank Indonesia, 2011).
[2] Hambatan non
harga yang dimaksud adalah dapat berupa persyaratan administratif yang dapat
memberatkan konsumen, seperti misalnya keharusan bagi calon debitur untuk
menyiapkan sejumlah jaminan dan sebagainya (Bank Indonesia, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar