HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Model
Berdasarkan
hasil analisis statistik data SEM serta hasil temuan di lapangan, terungkap
bahwa karakteristik budaya masyarakat tertentu dapat mempengaruhi perilaku
masyarakat dalam menentukan efektif tidaknya sebuah program GLM bagi
masyarakat. Sebaliknya faktor organisasi atau pemerintahan belum sepenuhnya
efektif dalam mendukung terlaksananya program GLM yang baik bagi masyarakat.
Setelah
melalui serangkaian uji pada SEM serta melalui tahap ‘sortir’ atas indikator
yang memiliki nilai loading faktor ≤ 3,00 (Wijanto, 2008), maka model akhir
yang dibangun dalam penelitian ini memiliki tiga variabel laten, yaitu variabel
laten X (karakteristik budaya) yang memiliki 3 indikator teramati, variabel
laten Y (organisasi/peran pemerintah) dengan 4 indikator teramati, dan variabel
laten Z (efektifitas program GLM) dengan 5 indikator teramati (untuk lebih
lengkapnya penjelasan variabel dan indikator teramati yang digunakan dalam SEM
dapat dilihat pada subbab metodologi). Pada tahap awal analisis model, data
yang diperoleh diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitas. Validitas
model pengukuran dilakukan dengan melihat nilai-t muatan faktor. Suatu variabel
dikatakan memiliki validitas yang baik jika memiliki nilai-t muatan faktor
lebih besar dari nilai kritis 1,96 (Ridgon dan Ferguson dalam Wijanto, 2008).
Hasil estimasi nilai t-muatan faktor model pertama dapat dilihat pada gambar 2
berikut ini:
t-value
Gambar
2 diatas menampilkan diagram lintasan model GLM lengkap dengan angka-angka yang
menunjukkan nilai-t dari setiap angka hasil estimasi yang terkait. Nilai-t yang
lebih besar dari 1.96 menunjukkan signifikansi pada taraf 5%. Perolehan nilai-t
ini menunjukkan bahwa seluruh indikator memiliki validitas yang baik dalam
menjelaskan variabel latennya. Hal ini karena seluruh indikator memiliki
nilai-t lebih besar dari nilai kritis 1.96,
Sedangkan
pengukuran reliabilitas model dapat diukur dengan rumus construct
reliability (CR) dan variance extracted (VE) berdasarkan hasil
muatan faktor standar dan error diagram lintasan yang dapat dilihat pada
gambar dibawah 3 ini:
Gambar
3:
Standardized
Solution
Berdasarkan
hasil muatan faktor standard dan error pada gambar 3, dapat dihitung
perolehan nilai CR dan VE yang menggambarkan nilai reliabilitas data konstruk.
Reliabilitas tinggi menunjukkan bahwa indikator-indikator mempunyai konsistensi
yang tinggi dalam mengukur konstruk latennya (Wijanto, 2008) maka hasil
rangkuman perhitungan validitas dan CR VE model kinerja GLM dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini:
Tabel 2:
Daftar
validitas dan reliabilitas Model GLM
KESIMPULAN
|
||
Reliabilitas
|
||
Variabel
|
CR ≥ 0.7
|
VE ≥ 0.50
|
X
|
1.25 ≥ 0.7
|
1.77 ≥ 0.50
|
Y
|
0.93 ≥ 0.7
|
0.79 ≥ 0.50
|
Z
|
0.70 ≥ 0.7
|
0.50 ≥ 0.50
|
Reliabilitas
model yang baik adalah jika construct reliability (CR) ≥ 0,70 dan variance
extract (VE) ≥ 0.50. Semua nilai koefisien CR dan VE untuk variabel laten X
(karakteristik budaya), Y (organisasi/peran pemerintah), dan Z (efektifitas
program GLM) sudah memenuhi syarat yang ditentukan, sehingga dapat disimpulkan
bahwa indikator-indikator pada variabel laten reliable dengan kemampuan
ekstrak mewakili konstruk diatas nilai yang disyaratkan.
Setelah
menentukan nilai validitas dan reliabilitas, tahap selanjutnya adalah
menganalisa kriteria-kriteria kecocokan model (goodness of fit). Dalam
mengidentifikasi suatu model sehingga dapat dikatakan baik dan benar, maka
dilakukan beberapa analisis terhadap nilai-nilai yang terdapat pada model.
Suatu model dapat dikatakan baik dan sah, jika memenuhi ukuran kecocokan absolute
dan incremental yang diringkas pada tabel berikut:
Tabel
3:
Parameter
dan Hasil Uji Kecocokan Keseluruhan Model GLM
Ukuran
GoF
|
Tingkat-tingkat
kecocokan
|
Hasil
estimasi
|
Tingkat
Kecocokan
|
Chi-Square
P
|
Nilai
yang kecil P≥0.05
|
0.00000
|
Marginal
fit
|
Normed
chi-square
|
Batas
bawah (0.1 )-batas atas (0.5)
|
2.041
|
Good
fit
|
SNCP
|
Semakin
kecil semakin baik
|
1.74
|
-
|
NFI
|
NFI ≥
0.90
|
0.94
|
Good
fit
|
NNFI
|
NNFI ≥
0.90
|
0.81
|
Mariginal
fit
|
CFI
|
CFI ≥
0.90
|
0.94
|
Good
fit
|
IFI
|
IFI ≥
0.90
|
0.94
|
Good fit
|
GFI
|
GFI ≥
0.90
|
0.87
|
Marginal
fit
|
Model
yang dibangun dalam analisis ini memiliki nilai chi-square sebesar
132.60 dengan df (degree of freedom) sebesar 20 dan nilai p-value
sebesar 0.0000 yang lebih kecil dari 0.05. Nilai normed chi-square
berada diantara nilai batas bawah dan atas yakni 2.041 dan model dikatakan good
fit. Perolehan nilai SNCP adalah 1.74 untuk dapat dibandingkan dengan model
respesifikasi selanjutnya. Nilai lain yang dihasilkan dalam goodness of fit
criteria adalah nilai NFI, CFI, dan IFI menunjukkan hasil diatas nilai yang
dikehendaki yaitu ≥ 0.9 sehingga dapat dikatakan good fit, oleh
karenanya model yang dibangun dalam penelitian ini dianggap baik (Browne dan
Cudeck dalam Wijanto, 2008).
Analisis Hipotesa
Secara
keseluruhan model SEM berdasarkan gambar 3 memberikan bukti hipotesis bagaimana
pengaruh karakteristik budaya terhadap organisasi/peran pemerintah, serta
pengaruh variabel karakteristik budaya dan organisasi/peran pemerintah terhadap
kinerja. Hubungan ketiga variabel tersebut dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
|
|
Gambar
4:
Model
Struktural-Nilai Standardized Solution dan t-value
Berdasarkan
perolehan hasil t-value pada gambar 4 diatas menunjukkan bahwa variabel laten X
(karakteristik budaya) berpengaruh positif signifkan terhadap Y
(organisasi/peran pemerintah) dan terhadap Z (efektifitas program GLM) yang
dicerminkan melalui perilaku masyarakat. Sedangkan variabel Y (organisasi/peran
pemerintah) berpengaruh negatif signifikan terhadap Z (efektifitas program GLM).
Hasil evaluasi dari gambar 3 diatas dapat dirangkum dalam tabel 3 berikut
disertai dengan asumsi hipotesis-hipotesis dari model penelitian.
Tabel
4:
Evaluasi
Koefisien Model Struktural dan Kaitannya dengan Hipotesis Penelitian
Hipotesis
|
Path
|
SLF ≥
0.30
|
t-value
≥ 1.96
|
Kesimpulan
|
1
|
Karakteristik
budaya (X) Þ Organisasi/peran pemerintah (Y)
|
0.53
|
5.66
|
Signifikan
(hipotesis diterima)
|
2
|
Karakteristik
budaya (X)Þ efektifitas program GLM (Z)
|
0.34
|
4.23
|
Signifikan
(hipotesis diterima)
|
3
|
Organisasi/peran
pemerintah (Y) Þ efektifitas
program GLM (Z)
|
-1.06
|
-9.83
|
Signifikan
(hipotesis diterima)
|
Berdasarkan
rangkuman hasil evaluasi hipotesis pada tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa
hubungan variabel karakteristik budaya
terhadap organisasi peran pemerintah memiliki nilai-t muatan sebesar 5.66.
Nilai ini lebih besar dari 1.96 berarti hubungan tersebut adalah signifikan dan
memiliki nilai koefisien yang positif yang menandakan adanya hubungan positif
antara kedua variabel tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel karakteristik
budaya terhadap organisasi/peran pemerintah adalah kuat dari interval nol
(pengaruh yang sangat lemah) sampai dengan nilai satu (pengaruh yang sangat
kuat).
Strategi Pengembangan
Setelah melakukan analisis melihat dampak beberapa
variabel dalam model SEM, analisis selanjutnya adalah berupa penelaahan
strategi yang mungkin untuk pengembangan GLM melalui model struktural
interpretatif. Hasil strategi ini adalah buah dari depth interview dengan para pakar yang kompeten. Selanjutnya
didapatkan hasil model struktural elemen tujuan seperti tercantum pada gambar
di bawah.
Terdapat sedikitnya 7 level struktural elemen tujuan
program. Ketujuh level ini terdiri dari total 9 elemen. Adapun kesembilan
elemen ini adalah:
1.
Perlunya kesetaraan akses dana untuk
segala jenis institusi keuangan, baik perbankan maupun model pinjaman berbasis
kelompok (Fair Access Fund),
2.
Perlunya peningkatan kualitas sumber daya
manusia sebagai pionir pelayanan model pinjaman berbasis kelompok ini (Improve
Human Resources Quality);
3.
Pentingnya keuangan inklusif pada seluruh
sistem keuangan (Inclusion in Financial System);
4.
Institusi berupa APEX bagi model pinjaman
berbasis kelompok (APEX Institution);
5.
Rating system untuk penilaian dan evaluasi GLM (GLM Rating System);
6.
Pentingnya pendampingan teknis untuk
sustanabilitas model pinjaman berbasis kelompok ini (Technical Assistant);
7.
Vitalnya dukungan dari pemerintah
(Government Support);
8.
Perlunya aturan/undang-undang yang mengatur
kompetisi yang fair di antara lembaga pengelola pinjaman, baik formal maupun
informal (Fair Competition Act); dan
9.
Pentingnya stabilitas ekonomi baik makro
maupun mikro (Economic Stability).
Gambar.
Model Struktural Elemen Tujuan Program
Level
paling bawah yakni perlunya kesetaraan
akses dana untuk segala jenis institusi keuangan (Fair Access of Fund) menjadi
hal terpenting sebagai pijakan tujuan program GLM ini. Selanjutnya adalah
elemen peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pionir pelayanan model
pinjaman berbasis kelompok menjadi hal penting selanjutnya, diikuti perlunya
keuangan inklusif pada sistem keuangan.
Khusus pada level 4 di atasnya, terdapat 3 elemen
yang relatif sama penting dalam rangka pengembangan GLM yakni: perlunya
institusi berupa APEX, sistem rating untuk evaluasi dan penilaian serta
pendampingan teknis untuk untuk sustanabilitas model pinjaman berbasis kelompok.
Elemen selanjutnya dengan dimensi kepentingan yang
lebih rendah adalah dukungan dan komitmen pemerintah, Fair competition act dan stabilitas perekonomian. Meskipun demikian,
elemen-elemen tersebut tetap perlu menjadi strategi yang perlu dilakukan agar
hasilnya menjadi lebih integral dan komprehensif.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Program
GLM pada umumnya dibangun dengan melibatkan masyarakat yang memiliki kondisi
geografis dan budaya yang sama. Kesamaan budaya/peraturan adat dianggap turut
berkontribusi dalam menciptakan kondisi yang baik dalam hal bermuamalah
terutama terkait dengan pinjam-meminjam. Faktor budaya diukur dengan
menggunakan indikator potensi kelompok, pola hubungan antar individu,
kerjasama, nilai/norma adat dan agama, dan hubungan yang masing-masing
indikator memiliki aspek-aspek pengukuran tersendiri seperti misalnya indikator
pola hubungan antar individu diukur dengan aspek saling mengenal, kepercayaan,
dan kesamaan aktifitas keseharian. Kondisi karakteristik budaya suatu
masyarakat yang baik maka akan turut berkontribusi terhadap sikap dan
kepedulian pemerintah dalam menunjang/mendorong program GLM agar terlakasana
dengan baik.
Temuan
dilapangan menemukan bahwa anggota kelompok penerima program GLM memiliki
hubungan kerjasama yang baik. hal ini dibuktikan dengan rutinnya mereka
mengadakan rapat bulanan serta menghadiri acara-acara yang dilaksanakan terkait
dengan program GLM. Di samping itu pula mereka memiliki sikap disiplin dan probem
solving yang cukup baik dimana permasalahan yang terjadi selama program
berlangsung dipecahkan dengan mencari solusi melalui jalan musyawarah untuk
mencapai mufakat. Kondisi masyarakat yang baik tentunya juga akan menambah
keyakinan dan semangat pemerintah untuk tetap mendukung program GLM agar berjalan dengan baik dan
memfasilitasi melalui modal maupun regulasi/kebijakan. Vipihindrartin (2012)
menyebutkan dalam penelitiannya bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam
program pembiayaan modal sosial yaitu sebagai pembuat kebijakan, serta sebagai
penyedia fasilitas dan monitoring. Artinya, sudah seharusnya pemerintah dapat memaksimalkan
perannya melalui Badan Keswadayaan Masyarakat terutama dalam hal pendampingan
melalui fasilitator kelurahan serta bersinergi dengan kebutuhan kelompok
peminjam.
Karakteristik
budaya juga berpengaruh positif terhadap tingkat efektifitas program GLM yang
dicerminkan melalui sikap dan perilaku masyarakat. Sikap/perilaku masyarakat
diukur dengan beberapa indikator diantaranya adalah tingkat partisipasi
masyarakat, pemberdayaan masyarakat, repayment rate yang baik, cross
reporting yang baik, serta penerapan penalty sesuai dengan aturan
yang berlaku. Dengan adanya program GLM masyarakat merasakan perbedaan baik
dari kondisi ekonomi maupun sosial dari sebelum mengikuti program dan setelah
program. Pendapatan masyarakat semakin meningkat setelah mengikuti program GLM,
di samping itu juga kehidupan mereka tergolong lebih sejahtera begitupula
dengan lingkungan sekitar masyarakat dimana aktifitas perekonomian semakin
berjalan dengan lancar. Kono (2007) menyebutkan bahwa repayment rate
yang baik dan adanya cross reporting yang baik mengindikasikan
efektifnya suatu program modal sosial. Dengan adanya budaya masyarakat yang
saling percaya dan lingkungan yang agamis dan dinamis baik secara moral dan
spiritual maka dapat meminimalisir terjadinya penyimpangan-penyimpangan atas
dana program yang kemungkinan dilakukan oleh anggota kelompok (moral hazard)
(Stiglitz (1990), Varian (1990), Banerjee, Besley and Guinnane (1994)).
Sedangkan
peran pemerintah/organisasi berpengaruh negatif terhadap tingkat efektifitas
program GLM. Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa masyarakat peneriman
bantuan modal program GLM belum merasakan sepenuhnya peran pemerintah bagi
program ini, terutama dalam hal fasilitas dan modal. Padahal, fasilitas serta
modal merupakan aspek utama berjalannya program GLM dengan baik. Di samping itu
pula masyarakat belum sepenuhnya paham dengan sistem program GLM ini, hal ini
bisa jadi disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah
terkait program GLM. Lebih lanjut Vipihindrartin (20012) menyebutkan bahwa
sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan formalitas, dengan demikian
masih banyak kelompok peminjam yang belum memahami pentingnya program
perguliran dana melalui sebuah program kredit mikro. Berdasarkan hasil temuan
penelitian ini, memang sudah saatnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan
penting dalam mengawas serta mengatur jalannya program-program keuangan baik
skala perbankan maupun non-perbankan. Setiawan (2012) lebih lanjut menegaskan
bahwa regulasi dan supervisi yang ketat dipandang sangat penting untuk
mengurangi risiko krisis yang diakibatkan kelemahan dan kejahatan dalam sektor
keuangan (financial sector’s misdeeds) dan agar tidak tercampuradukkan
antara kepentingan individualis, politis, dengan kebutuhan masyarakat.
Ada
beberapa strategi pengembangan program GLM yang berhasil ditemukan yaitu: Perlunya kesetaraan akses dana untuk segala
jenis institusi keuangan, baik perbankan maupun model pinjaman berbasis
kelompok, Perlunya peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pionir pelayanan model pinjaman berbasis
kelompok ini, Pentingnya keuangan inklusif pada seluruh sistem keuangan.
Strategi
yang lain adalah adanya Institusi
berupa APEX bagi model pinjaman berbasis kelompok; Rating system untuk penilaian dan evaluasi GLM (GLM Rating System);
dan Pentingnya pendampingan
teknis untuk sustanabilitas model pinjaman berbasis kelompok ini. Strategi
lain yang tidak kalah penting adalah vitalnya
dukungan dari pemerintah, Perlunya aturan/undang-undang yang mengatur kompetisi
yang fair di antara lembaga pengelola pinjaman, baik formal maupun informal
(Fair Competition Act); dan Pentingnya
stabilitas ekonomi baik makro maupun mikro.
Daftar Pustaka:
Aghion, Beatriz Armendariz de, dan
Jonathan Morduch (2000). Microfinance Beyond Group Lending. Economics of
Transition 8(2), 401-420.
Akanji, O.O (2007). Micro Finance
as A Strategy for Poverty Reduction. CBN Economic and Financial Review.
Vol.39 No.4.
Banerjee, Abhijit V., Timothy Besley and Thimothy W.
Guinnane (1994). Thy Neighbor’s Keeper: The Design of a Credit Cooperative
with Theory and a Test. Quarterly Journal of Economics 109(2), 491-515.
Bhattacharya, S., and Momaya, K. (2009). Interpretive
Structural Modeling of Growth Enablers in Construction Companies.
Singapore Management Review. ABI/INFORM Global: 73
Bolanos et.al. (2005). Using Interpretive Structural
Modelling in Strategic Decision-Making Groups. Management Decision 43
(6): 877-895.
Ferdinand, A (2006). Structural Equation Modelling
dalam Peneltian Manajemen. Edisi 2, Seri Pustaka Kunci 03/BP UNDIP
Fukuyama, Francis (2002). Social Capital and
Development: The Coming Agenda. SAIS Review Vol. XXII No.1 (winter u/2013
spring 2002)
Gema PKK, (2003). Kemiskinan dan
Keuangan Mikro. KPK
Greenberg, Edward S., Patricia B.
Sikora, Leon Grunberg, and Sarah Moore (1999). Work Tems and Organizational
Commitment: Exploring the Influence of the Team Experience on
Employee Attitudes.
Workplace Change Project Working Paper WP-012.
Gorvett, R. and Liu, N., 2007. Using interpretive
structural modeling to identify and quantify interactive risks. Orlando – USA:
ASTIN Colloquium.
Ismail, Munawar (2003). Sumbangan Institusi Lokal
dalam pembangunan Ekonomi. Emansipasi Nolai Lokal. Malang: Bayu Media.
Kanungo S dan V.V. Batnagar, 2002. Beyond Generic Models for Information System
Quality : The Use of Interpretative Structural Modelling (ISM). Journal of
System Research and Behavior Science. Vol. 19 (2), P 531:549.
Kono, Hisaki (2007). Is Group Lending A Good
Enforcement Scheme for Achieving High Repayment Rates? Evidence form Framed
Field Experiments in Vietnam. Institute of Developing Economies. 3-2-2
Wakaba, Mihama-ku, Chiba-shi, Chiba, Japan.
Lee, D. M. (2007). Structured Decision Making
with Interpretive Structural Modelling (ISM). Canada: Sorach Inc.
Lukman, Syukri., Niki Lukviarman, Harif Amali Rivai,
Tafdil Husni, Syafrizal, dan Maruf
(2008). Kajian Upaya Penguatan Peran Microbanking dan Pendekatan
Pembiayaan Kelompok dalam Rangka Pengembangan UMK di Sumatra Barat. Penelitian
atas kerjasama antara Bank Indonesia dan Center for Banking Research
Universitas Andalas.
Marimin. 2004. Pengambilan
Keputusan Kreteria Majemuk. Teknik dan Aplikasi. Gramedia Widiasarana
Indonesia. Jakarta.
Patten, Richard H, Jay K. Rosengar. (1991). The
Development of Rural Banking in Indonesia. San Fransisco: ICS Press.
Radyati, Maria R. Nindita (2012).
Keuangan Inklusif Perbankan. Published on Universitas Trisakti. MMCSR &
MMCE. http://www.mmcrusakti.org
Rai, Ashok S. dan Tomas Sjostrom.
(2004). Is Grameen Lending Efficient? Repayment Incentives and Insurance in
Village Economies. Review of Economic Studies 71, 217-234.
Ridwan, Mochamad (2012). Penguatan
Ekonomi Masyarakat Berbasis Kelompok. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.13 No.2
hlm. 207-217.
Robinson, MS (2001). The
Microfinance Revolution, Sustainable Finance for the Poor. World Bank
Economic Review.
Rozi, MF. (2006). Peran Local Genius
dalam Arsitektur Perekonomian Indonesia. Seminar Proceeding Konferensi Ekonomi
Nasional Universitas Widya Mandala. Surabaya.
Rudjito (2003). Sinergi
Kebijakan dalam Mendorong Pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Paper
dipresentasikan pada Lokakarya Mendorong Pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah
yang Sehat dan Berdaya Saing. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). 12
Desember 2003, Aston Hotel: Jakarta.
Saxena, J. P. 1992. Hierarchy and Classification of
Program Plan Element Using Interpretative Structural Modelling. Systems Practice,
Vol. 12 (6), P 651:670
Schurmann, Anna T dan Heid Bart Johnston (2009). The
Group-Lending Model and Social Closure: Microcredit, Exclusion, and Health in
Bangladesh. J Health Popul Nutr. 27(4): 518-527.
Sebstad, J. (1998). Toward
Guidelines for Lower-Cost Impact Assessment Methodologies for Microenterprise
Program. Discussion Paper for the Second Virtual Meeting of the CGAP
Working Group on Impact Assessment Methodologies. AIMS. Management System
International Washington D.C. p 1-23.
Setiawan, Azis (2012). OJK dan Masa
Depan Industri Keuangan Syariah. SEBI Policy Brief No.1 Tahun 1, Februari 2012.
Stiglitz, Joseph E (1990). Peer
Monitoring and Credit Markets. World Bank Economic Review 4(3), 351-366.
Sumodiningrat, G (1998). Poverty Alleviation in
Indonesia: An Overview, District and Rural Development National Development
Planning Agency. Bappenas.
Takkar, J., et.al. (2007). Development of a Balanced
Scorecard, An Integrated Approach of Interpretive Sructural Modeling (ISM) and
Analytic Network Process (ANP). International Journal of Productivity
and Performance Management 56 (1): 25-59.
Varian, Hal R (1990). Monitoring Agents with
Other Agents. Journal of Institutional and Theoretical Economics 146(1),
153-174.
Viphindrartin, Sebastiana (2012). Model Pendekatan
Modal Sosial Kelompok Peminjam untuk Optimalisasi Repayment Rate
pada Lembaga Keuangan Mikro Swadaya Masyarakat. Fakultas Ekonomi Universitas
Jember.
Wijanto, Setyo Hari (2008).
Structural Equation Modelling; Konsep dan Tutorial. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar